Kepentingan Pragmatis Mengabaikan Aspek Ideologis
Cakratara.com – Sebelum Pemilu 2024, Anies pernah mesra dengan AHY. Anies diusung oleh PKS dan Partai Nasdem. Sementara AHY diusung Partai Demokrat. Keduanya digadang-gadang sebagai pasangan ideal untuk calon Presiden dan Wakil Presiden. Rabu, 12 Juni 2024
Tetiba, Anies dipasangkan dengan Cak Imin, Ketua Umum PKB. Akhirnya, PKB dan PKS -juga Partai Nasdem- berkoalisi. Dua parti politik yang sejatinya berada pada spektrum yang berbeda, bahkan berseberangan.
Atas keputusan itu, saya sempat membuat satu analisis ringan yang dituangkan dalam sebuah tulisan sederhana, dengan mengibaratkan keduanya seperti politik “minyak dan air”. Sebuah analogi untuk menggambarkan perbedaan.
Minyak dan air itu tidak akan bisa bersatu, membaur, apalagi melebur. PKB dan PKS itu DNA dan karakternya berbeda. Namun mereka terpaksa menyatu untuk kepentingan pragmatis. Juga Partai Nasdem, yang identitasnya banyak beda dengan karakter Anies.
Saya sempat memprediksi bahwa pasangan calon ini akan mengalami kesulitan untuk menjadi pemenang. Saya juga memprediksi, bila pun menjadi yang terpilih, maka akan kembali pada watak asli masing-masing.
Watak asli dimaksud, bukan hanya antara Anies dan Imin saja. Tapi juga PKS dan PKB di lembaga legislatif. Karena ideologinya berbeda, maka kebijakan dan atau regulasi yang menghajatkan kesepakatan politik di DPR kemungkinan juga berbeda.
Akhirnya, Anies-Imin tak terpilih pada Pemilu 2024. Dan terbukti, PKS dan PKB pun kembali ke watak asli -masing-masing. PKS dengan puritanismenya, dan PKB dengan indigenisasi dan vernakularisasinya.
Kini, dalam rangka pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, PDIP mengusung beberapa nama bakal calon. Salah satunya Anies. Hah, PDIP mengusung Anies? Banyak orang yang belum percaya dengan keputusan yang tidak terduga ini.
Semoga saja langkah ini bukan semata karena pertimbangan peluang menangnya besar. Apalagi karena dianggap Anies adalah sosok antitesa terhadap Jokowi; sosok yang kini dicap “pengkhianat” oleh PDIP.
Kalau boleh saya memprediksi lagi, bila PDIP jadi mengusung Anies, maka akan banyak anggota, simpatisan, kader, dan para loyalis PDIP yang selama ini mendukung, akan hengkang dan menjauh. Selanjutnya, mereka akan mendukung calon lain.
Namun sebaliknya, orang-orang yang selama ini menjaga jarak bahkan kerap mengecam, mengutuk, bahkan menista PDIP, akan “terpaksa satu barisan dengannya” karena faktor Anies ini. Terpaksa karena faktor PDIP sebagai partai yang tak mereka sukai.
Jadi, peluang untuk menjadi yang terpilih dan kembali pulang ke Balai Kota yang sempat ditinggalkan oleh Anies, tetap terbuka untuk periode kedua ini. Namun itu tidak mudah. Karena ada banyak faktor yang mempengaruhinya, termasuk ketersediaan finansial.
Kemungkinannya, jumlah pendukung Anies yang rada terpaksa itu masih lebih besar dibanding jumlah orang-orang yang menjaga jarak dan menjauh dengan PDIP tersebut. Karena faktor ini, peluang Anies menang menjadi besar.
Tapi, walau jumlah orang yang menjaga jarak dengan PDIP itu lebih sedikit, mereka lah yang sebetulnya memiliki sumber daya finansial tersebut. Dan biasanya, kekuatan ini mampu mengubah pilihan rakyat.
Tahu sendiri kan bagaimana karakteristik pemilik suara ini. Mereka ini suka pendek ingatan. Cepat melupakan. Suka lupa terhadap kebaikan orang yang selama ini ditanamkan.
Informasi karakter pemilih seperti ini saya dapatkan dari beberapa kawan yang pada Pemilu 2024 kemarin maju sebagai calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Mereka mengeluh usai tidak terpilih sebagai wakil rakyat.
Menurut pengakuan mereka, dalam rangka menggalang dukungan dan suara, salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan melakukan kegiatan yang bisa menumbuhkan simpati pada pemilih. Dan itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari pemungutan suara.
Beberapa contoh aksi seperti itu, misalnya membantu memperbaiki tempat ibadah, memberikan karpet dan sajadah, membuat jalan kampung, memberi pemuda dalam bentuk peralatan olahraga, dan hadir dalam setiap acara warga.
Kebaikan yang mereka lakukan kepada masyarakat dengan harapan ada imbal balik berupa dukungan dengan mencoblosnya pada hari H itu, menjadi ambyar dalam sekejap ketika kompetitor lain menggunakan cara instant dalam bentuk politik uang.
Politik uang berupa pembagian uang kepada para pemilik suara yang dilakukan beberapa saat menjelang para pemilih itu menuju Tempat Pemungutan Suara atau TPS, seperti peribahasa “kemarau satu tahun luruh oleh hujan satu hari”.
Akkhirnya, yang banyak dipilih adalah orang-orang yang “tengah malam tadi melakukan serangan fajar”. Mereka lupa dengan orang yang selama ini telah jauh-jauh hari menanamkan kebaikan.
Maka tak heran bila ada banyak “caleg gagal” yang merasa kecewa karena menganggap telah dikhianati. Rasa kecewa yang bisa saja berujung depresi inilah yang diantisipasi oleh beberapa rumah sakit daerah yang telah menyiapkan poli kejiwaan.
Jadi, bila pun jumlah fans dan pengagum Anies masih lebih besar, namun menjelang hari pemilihan, pilihan mereka itu akan goyah oleh resources yang dimiliki oleh mereka yang menjauh dari PDIP, walau jumlah mereka lebih sedikit.
PDIP yang mengusung Anies dalam Pilkada DKI 2024 itu sesungguhnya adalah langkah yang tidak diduga, mengagetkan, bahkan aneh. Tapi sebagaimana adagium dalam dunia politik bahwa “tidak ada teman yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi”.
Adagium yang sejatinya bernada satire sebagai sebuah sindiran, yang karenanya tidak boleh diamini dan dibenarkan, menjadi biasa, lazim, lumrah, dan kaprah. Makanya tidak aneh bila para politisi merasa mendapatkan justifikasi lewat sentilan ini.
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten