CAKRATARA.COM – Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menggarisbawahi fungsi strategis guru dalam mencetak generasi penerus bangsa Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dalam hal ini, peran guru mencakup aspek akademik dan pembentukan karakter, menjadikannya salah satu profesi yang paling berpengaruh dalam pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak mulia.

Dari dasar hukum tersebut jelas dikatakan bahwa Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik, pembimbing, dan teladan bagi peserta didik. Lebih dari Sekadar Pengajar Tanggung Jawab dan Fungsi Guru Sebagai Pilar Pendidikan Nasional.

Dede Sudiarto, S.Pd.,M.M. sebagai akademisi yang saat ini sedang pendidikan doktor di FISIP Unpad, Memberikan pandangan bahwa hakikat tercapainya perkembangan peradaban menjadikan “Guru adalah fondasi utama pendidikan” Dalam menjalankan tugasnya, guru tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab.”
Guru sebagai pendidik memiliki tanggung jawab moral untuk membentuk karakter peserta didik. Dengan demikian, perannya melampaui sekadar menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga menjadi pembimbing yang mencetak generasi cerdas, kreatif, dan beretika.

Selama ini implementasi kebijakan kementrian yang membawahi pendidikan hanya berkonsentrasi soal kurangnya kualitas pendidikan dikarenakan satu komponen tunggal yakni Guru, sejauh ini konsentrasi yang sitekankan menitikberatkan pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh undang-undang serta pentingnya integritas dan komitmen guru dalam menghadapi tantangan pendidikan era modern.

Meski guru di daulat sebagai salah satu kunci meningkatnya kualitas pendidikan di indonesia, namun secara faktual para pendidik tidak memiliki kewenangan penuh dalam mengelola cara didik secara independen. Bagaimana bisa terwujudnya hasil pendidikan yang berkualitas, jika regulasi dan intervensi politik hypokrit telah berada dalam dunia pendidikan.

Misalnya Untuk mempertahankan citra pemerintah atau menunjukkan keberhasilan kebijakan, intervensi politik buruk dalam pendidikan, seperti manipulasi nilai siswa untuk membuat mereka terlihat lebih baik, sering dilakukan. Contohnya, ada individu yang mungkin memaksa sekolah atau guru untuk menaikkan nilai siswa agar tingkat kelulusan terlihat tinggi, meskipun nilai tersebut tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya. Evaluasi nasional atau evaluasi lainnya juga terkadang dijadikan formalitas, dengan soal yang terlalu mudah atau kebocoran jawaban untuk menjamin hasil yang diinginkan.

Praktik ini berdampak negatif pada sistem pendidikan secara keseluruhan. Karena siswa tidak menerima evaluasi objektif yang memotivasi mereka untuk berkembang, manipulasi nilai menyebabkan kualitas pembelajaran menurun. Selain itu, lulusan yang memiliki nilai tinggi tetapi tidak memiliki kemampuan akan menghadapi kesulitan di dunia kerja atau pendidikan lanjutan, yang mengurangi kepercayaan masyarakat pada sistem pendidikan.Lebih buruk lagi, data hasil pendidikan yang dipolitisasi menciptakan ilusi keberhasilan. Hal ini terjadi sementara masalah penting seperti kualitas pendidikan dan kesenjangan akses pendidikan masih belum ditangani.

Mengadopsi sistem evaluasi yang adil dan independen, melindungi guru dari tekanan politik, dan mendorong masyarakat untuk melihat kebijakan pendidikan adalah semua tindakan yang diperlukan untuk mengatasi intervensi seperti ini. Pendidikan dapat kembali menjadi alat pencerdasan bangsa yang mencerminkan kemampuan siswa, bukan hanya tujuan politik jangka pendek.

Oleh : Dede Sudiarto, S.Pd.,M.M