Mengenal Suku Baduy, dari Asal Usul Hingga Tradisi
Cakratara.com – Mengenal suku Baduy, dari berbagai kelompok etnis mewarnai keragaman yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Suku Baduy. Suku Baduy adalah penduduk asli yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Banten.(02/05/24).
Dilansir dari laman Kemendikbud, nama Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut. Pendapat pertama munculnya nama Baduy berasal dari sebutan para peneliti Belanda yang melihat kemiripan mereka dengan kelompok Arab Badawi di Timur Tengah yang merupakan masyarakat dengan cara hidup berpindah-pindah (nomaden).
Pendapat berikutnya adalah nama Baduy muncul karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Sementara orang Baduy lebih suka menyebut dirinya sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah yang mereka tinggali.
Sejarah suku Baduy Dalam berasal dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh dewa yang diturunkan ke bumi. Batara Cikal sendiri memiliki peran untuk mengatur keseimbangan yang ada di bumi. Versi tersebut mirip dengan cerita diturunkannya Nabi Adam ke bumi.
Suku Baduy pun percaya bahwa mereka adalah keturunan Nabi Adam. Adapun para ahli sejarah memiliki pendapat sendiri berdasar pada temuan prasasti sejarah, catatan para pelaut dari Portugis dan Tiongkok yang dihubungkan dengan cerita rakyat tentang Tatar Sunda.
Pada versi yang diungkap ahli sejarah, masyarakat baduy (kanekes) memiliki kaitan dengan Kerajaan Pajajaran pada sekitar di abad ke-16 di mana kesultanan Banten belum berdiri. Dengan wilayah yang strategis, Pangeran Pucuk Umun memerintahkan pasukan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng-Sungai Ciujung. Versi ketiga diungkap Van Tricht yang berkunjung ke Baduy di tahun 1982 yang tidak mengakui kedua pendapat diatas. Menurut Van Tricht, masyarakat Baduy sudah ada sejak lama disana dan merupakan masyarakat asli dan sangat ketat mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka. Pendapat Van tricht sejalan dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) di mana menurut dua ahli ini pada masa lalu ada seorang raja yang berkuasa di wilayah sekitar Baduy bernama Rakeyan Darmasiska. Sang raja ini memerintahkan masyarakat Baduy untuk memelihara Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang) dan menjadikan kawasan tersebut sebagai Mandala atau kawasan suci.
Ciri khas Suku Baduy dapat diamati dari cara hidup serta hasil budaya yang masih dapat diamati hingga saat ini. Salah satunya adalah rumah adat Suku Baduy yaitu Sulah Nyanda yang merupakan bangunan berbentuk panggung dengan bahan kayu, bambu, serta atap ijuk atau rumbia. Ciri orang Baduy sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam.
Suku Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat dengan menolak adanya teknologi dan mempertahankan cara hidup yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Jika diamati, Suku Baduy Dalam sehari-hari kerap menggunakan baju dan ikat kepala berwarna putih yang melambangkan kesucian.
Sementara Suku Baduy Luar diperbolehkan menerima teknologi dan cara hidup masyarakat modern untuk menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Dalam kesehariannya, Suku Baduy Luar kerap mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru. Masyarakat Suku Baduy, terutama Baduy Dalam bermata pencaharian sebagai petani atau penggarap ladang, serta memelihara ternak.
Sementara, para perempuan Baduy memiliki keahlian menenun dengan tenun halus untuk pakaian dan tenun kasar untuk ikat kepala serta ikat pinggang. Untuk membawa peralatan sehari-hari, Suku Baduy juga membuat tas yang terbuat dari kulit pohon terep yang bernama koja atau jarog. Dalam tatanan masyarakatnya, pemimpin Suku Baduy disebut Pu’un, asisten pemimpin Suku Baduy disebut Jaro, dan pemimpin adat disebut Kejeroan. Selain itu, masyarakat Suku Baduy sendiri dikenal memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan. Tempat sembahyang umat Sunda Wiwitan adalah pamunjungan atau kabuyutan, yaitu tempat punden berundak yang biasanya terletak di bukit.
Tradisi Suku Baduy Suku Baduy dikenal memiliki berbagai tradisi, beberapa di antaranya cukup khas dan terkenal akan keunikannya. Berikut adalah beberapa diantaranya. 1. Gemar Berjalan Kaki Masyarakat Suku Baduy dikenal orang yang sangat gemar berjalan dengan kaki telanjang. Mereka akan berjalan kaki kemanapun meski jarak yang ditempuh cukup jauh tanpa mengenakan alas kaki. Tidak mengenakan alas kaki dan tidak menggunakan kendaraan sebagai alat transportasi merupakan prinsip hidup Suku Baduy untuk menjaga keselarasan dengan alam.
Mengenal Suku Baduy lebih dalam, masyarakat Baduy terdapat sistem kekerabatan yang menitikberatkan pada wilayah tempat tinggal. Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi yaitu Kampung Tangtu, Kampung Panamping, dan Pajaroan. Dalam hal ini, seluruh wilayah Desa Baduy adalah “Tangtu Teulu Jaro Tujuh” yang berarti seluruh penduduk di wilayah Kanekes Baduy merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang. Adapun perbedaannya ada padai generasi antara tua dan muda, di mana orang Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah, dan Cibeo yang termuda. 3. Sistem Kekerabatan Merujuk Nama Ibu Masyarakat Baduy juga memiliki keunikan nama dengan mengambil suku kata awal orang tuanya. Anak perempuan biasanya akan mengambil dari nama ayahnya, sedangkan anak laki-laki dari ibunya. Sebagai contoh, apabila seorang ibu bernama Arsunah maka nama anak laki-lakinya adalah Ardi atau Arsani. Namun untuk cara panggilan masyarakat Baduy justru menggunakan panggilan dengan nama anak. Sebagai contoh, seorang ayah yang memiliki anak laki-lakinya bernama Asep maka ia akan dipanggil Ayah Asep padahal nama aslinya adalah Ujang. Karena panggilan ini terus menerus digunakan, tak jarang banyak orang tua kemudian lupa dengan nama aslinya sendiri, untuk mengenal suku Baduy lebih dalam lagi tidak ada salahnya berkunjung ke daerah Baduy yang berada di Kabupaten Lebak.
Sumber : kehidupan-masyarakat-baduy